Saya Syamsuddin Rudiannoor sangat
menghargai masa lalu yang bernama sejarah. Bagi saya sejarah adalah ibrah,
jejak kehidupan dan cermin usang untuk menatap masa depan. Sebuah semboyan
menyebutkan: “Sejarah adalah politik masa lalu dan Politik adalah Sejarah untuk masa
depan”. Oleh karenanya saya sangat sedih tatkala tahu bahwa Buntok
telah banyak kehilangan bukti dari sejarah itu.
Dulu di masa kecil saya antara
1967-1979, Buntok masih punya Pendopo, Gudang Garam, Lapangan Kedaulatan dan
Tiang Bendera kayu ulin yang legendaris. Ternyata kini semua itu sudah tidak
ada lagi. Yang masih ada tersisa hanyalah kapal dinas Bupati Urbanus Martjun,
SH berupa BARSEL I di Iring Witu.
Dibandingkan dengan Palangka Raya
yang baru ada pada 17 Juli 1957, Buntok adalah kota tua bersejarah yang
mestinya lebih banyak meninggalkan tapak-tapak masa lalu. Namun nyatanya Buntok
kurang menyisakan masa lalunya yang otentik sementara Palangka Raya telah
menetapkan “Tugu Soekarno”, “Pesanggrahan”, “Pelabuhan Rambang” sebagai “Benda
Cagar Budaya”, padahal semua warisan itu barulah ada pasca 1957.
Kenapa Buntok tidak punya apa-apa
atas masa lalunya padahal sudah eksis sejak sebelum kerajaan Kerajaan Banjar
sementara Palangka Raya yang baru ada di zaman Kemerdekaan RI, masih mampu menyisakan
SEJARAH-nya? Entahlah......
Untuk sekedar menghibur hati maka
saya bekerjasama dengan Penerbit WR Yogyakarta menerbitkan dua buku Sejarah
yakni "NAN SARUNAI USAK JAWA" (Negara Dayak Dihancurkan Bangsa Jawa)
(1280-1700) dan GIGIR GAMPAR BARITO RAYA (Amuk 1860-1905). Harapan saya...,
semoga Buntok masih mampu menampilkan sisa-sisa masa lalunya agar tidak
kehilangan sama sekali puting parukung sejarahnya.