RESENSI
BUKU
Penulis : Syamsuddin
Rudiannoor
Katagori : Kumpulan
cerita pendek versi wayang lokal Kalimantan Tengah
Penerbit
: Barito Raya Pro Buntok bekerjasama dengan Penerbit WR Yogyakarta
Jumlah halaman : 366 halaman
Harga jual: Rp. 120.000,-
Kualitas cetak: Offset
diatas book paper
Tahun Penerbitan:
Cetakan I September 2013
Lokasi Pemasaran:
Barsel Promo, Jalan Panglima Batur Nomor 7 Buntok
Kontak telepon/sms: 0813 4960 6504
Antara tahun 1968 sampai 1975, Buntok masih
kota sangat kecil yang sederhana. Kala itu sarana informasi rakyat yang paling
moderen baru berupa pesawat radio dan sedikit tape recorder. Tidak ada pesawat
televisi. Listrik masih belum PLN. Mobil
masih tidak ada. Sepeda motor termasuk vesva masih berbilang jari. Siaran RRI
merupakan siaran idola seluruh rakyat. Dus, dalam suasana seperti itu,
tumbuhlah saya sebagai seorang anak bawang berusia 5 sampai 12 tahun.
Dalam kebersahajaan hidup Buntok
tahun-tahun tersebut, terkenanglah saya akan jasa almarhumah nenek saya Jawiah binti Lelang bin Karuang bin Rangkau. Kenapa demikian? Karena dari mulut tua
beliau, saya mendengar secara berulang-ulang banyak kisah atau ceritera rakyat
yang cukup variatif pokok bahasannya. Pendeknya, ada ceritera kancil dan pak
tani. Ada kisah kura-kura dan burung pelatuk. Ada Sangumang dan keluarganya.
Ada kisah Batara Gangga. Ada ceritera Supak dan Gantang. Dan yang terakhir saya
ingat adalah kisah lucu yang beliau namakan Babagongan atau
Wayang Epat.
Kembali ke suasana Buntok tahun
1968-1975, hiburan rakyat yang hidup kala itu adalah musik-musik RRI plus
sedikit seni tradisional. Dan salah satu seni tradisi itu adalah
pagelaran pentas wayang kulit. Terus, wayang kulit yang dimaksud adalah
Wayang Banjar (atau wayang Jawa yang dimainkan oleh orang Banjar (?)).
Pendek kata, seni yang dominan dimainkan di pahuluan Barito kala itu adalah
seni pesisir yang dibawa orang Banjar. Sampai kemudian, tercatat ada dua*)
orang lokal yang berhasil menyalin kaji dan menjadi dadalang wayang Banjar,
meskipun kualitasnya terbilang prematur bila harus tega dibandingkan dengan
dalang Jawa atau Paguruannya dari Banjar. Namun anehnya, justru kelahiran
prematur dalang Buntok berikut kualitasnya yang diragukan, malah
melahirkan wayang baru yang tak kalah unik, minimal setelah kisah wayang itu
dituturkan kembali oleh nenek saya Jawiah binti Lelang kepada saya sebagai cucunya.
Ilustrasinya mungkin begini. Ketika
wayang asli atau wayang India (berhasil dan atau gagal) diadopsi orang
Jawa, orang Jawa menciptakan wayang baru yang sesuai dengan
kejawaannya. Oleh karena itu, tidak heran kalau kemudian wayang asli mendapat
anggota baru (putera daerah Jawa) seperti Wisanggeni, Ontoseno sampai Punakawan
alias Kiyai Semar dan anak-anaknya. Meskipun skenario ceritera tetap kisah
India sejati tapi sudah ada sisipan
muatan lokal akibat bakincahnya para aktivis pendatang baru tadi. Lalu tatkala wayang India telah benar-benar
(diakui) menjadi Wayang Jawa Asli, kala itulah wayang "diambil" oleh Urang Banjar sesuai kemampuannya. Hasilnya, keruwetan
kisah India yang masih "mampu"
dipertahankan Wayang Jawa, mulai "gagal" dilidah Dalang
Banjar. Siapa waruh siapa tambuk? Dari perkembangan selanjutnya, malah dalam
beberapa kasus wayang Banjar yang main di Buntok, bawayang justru kian
menonjolkan sisipan Punakawannya saja daripada pakem asalnya. Terus, ketika
wayang India yang telah di-Jawa-kan lalu di-Banjar-kan itu sampai juga ke Buntok,
permintaan pasar atau selera rakyat Buntok yang sederhana justru "hanya"
menantikan Punakawan saja dalam khasanah bawayang mereka. Sampai kemudian,
karena keranjingan Punakawan berikut akibat kegagalan nenek saya dalam
mencerna lakon pewayangan, malah mematok kavling pewayangan baru dilingkungan
keluarga kami. Itulah yang oleh nenek saya dinamakan Babagongan atau Wayang
Epat. Artinya, bawayang bagi nenek saya hanyalah Lalakun Punakawan saja, dimana
pemain utamanya adalah si endek
Bagong Jambulita.
ARTIS WAYANG BUNTOK CUMA EMPAT, Plus...
Kalau
asalnya bawayang lakon utamanya adalah orang India dan kisah India,
yang ketika di Jawa 'bertemu' Punakawan sebagai sisipan. Justru di
Buntok lakon utamanya adalah Punakawan. Keterbatasan nenek saya dalam menyerap
dan menceriterakan kembali kisah wayang kepada saya akhirnya malah mematok
bahwa lakon utama wayang adalah Bagong plus ayahnya Semar berikut
kakaknya Petruk Onta dan Nala Gareng. Barulah kemudian artis Babagongan yang
empat itu yang ketemu wayang-wayang lain dalam perjalanan hidup mereka yang
penuh liku-liku. Artinya, telah terjadi pemutar-balikan rambu-rambu dan
ideologi pewayangan di Kampung Buntok. Dan anehnya, revolusi itu justru terjadi
di Buntok di lidah nenek saya Jawiah binti Lelang bin Karuang bin Rangkau yang
buta huruf dan buta wayang.
Mungkin timbul pertanyaan, kenapa
Babagongan atau Wayang Epat yang menyimpang justru ditampilkan kedepan?
Jawabannya singkat saja. Saya hanya ingin menampakkan bahwa Babagongan atau
Wayang Epat merupakan wayang khas Kalimantan Tengah yang mudah-mudahan dapat menjadi pilar seni
budaya nasional. Ini yang pertama. Kedua, lewat Babagongan saya ingin
menjadikannya jembatan informasi yang dapat dibaca oleh Pemerintah dalam arti
luas dan masyarakat pada umumnya. Karena apa? Sebab cukup banyak dinamika dalam
masyarakat Kalteng yang mungkin belum sempat dibaca oleh pemerintah. Atau
sebaliknya, cukup banyak informasi dari pemerintah yang kurang sampai kepada
rakyatnya. Singkatnya, kiranya Babagongan ini dapat menjadi sarana
silaturrahim non formal dalam bermasyarakat dan berpemerintahan di
Propinsi Kalimantan Tengah, sebab seluruh isi dan kulit dalam lalakun
Babagongan yang ditampilkan diusahakan semaksimal mungkin menyerap dinamika
masyarakat Kalimantan Tengah yang sedang aktif bergerak maju.
Selamat menikmati....
*) Dua orang lokal yang berhasil menjadi Dalang
Wayang Banjar itu adalah Kai Pa' Baer (Kumis Saililah) dan Julak
Pa' Anen (Juri).