RUBRIK
Karena digemari kolektor dan pembeli, Enggang Gading yang juga dikenal sebagai Rangkong Gading di Kalimantan terancam punah. Terutama pembeli di Cina memburu paruh burung ini.
Yang paling mencolok dari burung Enggang Gading adalah paruh besarnya yang berwarna kuning kemerahan dan terlihat seperti gading. “Gading Merah” itulah sekarang makin diburu para penggemar satwa langka yang eksotis, terutama di Cina.
Selama beberapa dekade sebelumnya, pemburu di hutan Kalimantan Barat terutama fokus menangkap orangutan dan beruang madu untuk dijual. Tapi dalam beberapa tahun terakhir ada lonjakan permintaan untuk enggang gading, yang menyebabkan spesies burung ini terancam punah.
Di pasar gelap, paruh enggang gading bisa dijual lima kali lebih mahal daripada gading gajah. Bagi banyak pembeli, paruh itu hanya digunakan sebagai hiasan atau asesori untuk dipajang di rumahnya sebagai pameran status.
Produk ini telah menjadi begitu populer di Cina, di mana kolektor kaya tertarik untuk memamerkan status dengan membeli hewan langka atau eksotis.
“Permintaan untuk barang yang terhitung mewah ini benar-benar melejit,” kata Chris Shepherd dari organisasi pengawasan perdagangan satwa TRAFFIC kepada kantor berita AFP.
“Terutama permintaan di Asia benar-benar tinggi, sehingga populasi enggang gading benar-benar terancam.”
Para pemburu ilegal hanya tertarik pada “helm” unik burung langka ini, yang terlihat seperti keratin merah emas dan berfungsi sebagai pelindung kepalanya. Substansi seperti gading ini yang kemudian bisa diukir oleh pengrajin menjadi ornamen mewah, patung dan perhiasan lain dan digunakan pembelinya sebagai sesuatu yang bergengsi.
Para ahli mengatakan, pelindung kepala burung Enggang Gading ini bisa mencapai harga 1000 dolar AS di pasar gelap, jauh lebih mahal dari harga gading gajah. Dalam lima tahun terkahir saja, ribuan burung ini tewas karena diburu.
Yokyok Hadiprakarsa, peneliti terkemuka di Indonesia untuk Enggang Gading memperkirakan, di Kalimantan Barat saja sekitar 500 burung tewas setiap bulan pada tahun 2013 saja, artinya 6000 burung per tahun.
Enggang Gading dulunya memang secara tradisional sudah diburu oleh suku-suku asli Kalimantan, tetapi tidak pernah pada tingkat yang menimbulkan risiko kepunahan.
Perburuan dan pembantaian sistematis spesies ini muncul secara tiba-tiba,” kata Chris Shepherd. Baru tahun 2011, gading merah pertama dari Enggang Gading muncul di situs internet dari sebuah pasar satwa liar di kawasan perbatasan Myanmar dan Laos.
Perburuan intensif lalu terjadi, terutama di kalangan jaringan penyelundup satwa liar di Kalimantan Barat. Jalur utama penyelundupan satwa liar itu adalah bandara internasional di ibukota Pontianak.
Enggang Gading adalah burung besar. Ukuran tubuhnya bisa mencapai 170 cm dan memang mudah untuk diburu. Biasanya burung ini bertengger di batang pohon-pohon besar, tidak jarang secara berkelompok.
Selama 2015-2015 ada 16 kali penangkapan terkait perdagangan ilegal paruh Enggang Gading, dengan sitaan lebih dari 1100 paruh. Di Cina diamankan lebih dari 1000 paruh enggang dari 19 kali operasi aparat keamanan. Semuanya diduga berasal dari Indonesia.
Anggota Satuan Polisi Kehutanan Reaksi Cepat SPORC di Kalimantan mengatakan, anggotanya sekarang jarang melihat burung Enggang Gading di pohon selama patroli. Tetapi mereka sering bangkai burung yang sudah dipotong kepalanya.
“Bagi para pemburu, yang paling bernilai itu kepalanya”, kata David Muhammad, Kepala SPORC di Pontianak, kepada AFP. “Itulah satu-satunya yang mereka inginkan. Sisanya tidak punya nilai.”
Perdagangan komersial Enggang Gading secara hukum dilarang di Cina dan di seluruh kawasan habitatnya di Asia Tenggara: Thailand, Myanmar, Malaysia, Brunei dan Indonesia.
Tapi perdagangan ilegal makin semarak. Menurut Chris Sheperd, dalam üperiode 18 bulan sampai Agustus 2014, hampir 2.200 paruh Gading Enggang disita aparat penegak hukum di Cina dan Indonesia, dan ini hanya “puncak gunung es” saja..
Dalam satu kasus, unit SPORC mencegat empat warga negara Cina di bandara Pontianak, yang membawa hampir 250 paruh yang disimpan di bagasi mereka.
Adam Miller, kelompok konservasi Planet Indonesia yang berbasis di Pontianak mengatakan, penyelundupan Enggang Gading sudah mirip sindikat perdagangan gading gajah dalam skala, kriminalitas dan kecanggihannya.
“Hanya sedikit orang yang melakukan itu hanya untuk bertahan hidup. Ini kebanyakan kegiatan sindikat,” katanya kepada AFP.
Chris Shepherd mengatakan, perkembangan ini mencerminkan tren yang berkembang di kalangan kolektor satwa liar dan eksotis.
“Orang-orang ingin memiliki hewan ilegal, orang ingin memiliki hewan langka, orang ingin memiliki hewan mahal, hanya untuk pamer status dan kekayaan mereka,” katanya.