MENYONGSONG RAMADHAN
Oleh: Syamsuddin Rudiannoor
KHUTBAH PERTAMA
KHUTBAH HAJAT
إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهْ وَنَعُوذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْهُ فَلاَ هَادِيَ لَهُ. وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ.
: يَا أَيُّهاَ الَّذِيْنَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنَّ إِلاَّ وَأَنتُمْ مُّسْلِمُوْنَ.
(Ali Imran 102)
: يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوْا رَبَّكُمُ الَّذِيْ خَلَقَكُمْ مِّنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيْرًا وَنِسَآءً وَاتَّقُوا اللهَ الَّذِيْ تَسَآءَلُوْنَ بِهِ وَاْلأَرْحَامَ إِنَّ اللهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيْبًا. (an Nisa’ 1)
يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَقُوْلُوْا قَوْلاً سَدِيْدًا. يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوْبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللهَ وَرَسُوْلَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيْمًا. (al Ahzab 70-71)
أَمَّا بَعْدُ؛ فَإِنَّ أَصْدَقَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللهَ، وَخَيْرَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَشَّرَ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ وَكُلَّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ.
Jamaah Jum’at yang berbahagia.
Pembuka khutbah yang dibawakan tadi diriwayatkan oleh Ibnu Mas’ud, dia berkata: “Rasulullah Shallalaahi alaihi wa salam telah mengajarkan kepada kami khutbatul hajat, kemudian beliau membaca teks khutbah diatas, lalu membaca tiga ayat (Surah Ali Imran 102, an Nisa ayat 1 dan Al Ahzab 70-71). Hadits dari Ibnu Mas’ud ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Abu Dawud, An Nasa’i, Tirmidzi, Ibnu Majah, Thahawy, Ibnu Ashim, Abdurrazzaq, Hakim dan Baihaqi, semuanya dengan sanad yang shahih.
Diriwayatkan juga dari jalan Ibnu Abbas dengan ringkas (tanpa ayat) dikeluarkan oleh Imam Muslim, Nasa’i , Ahmad, Ibnu Majah dan Imam Thahawiy.
Dengan demikian, baik teks lengkap dengan ayat maupun yang ringkas (tanpa ayat) merupakan khutbah pembuka yang diajarkan oleh Rasulullah Muhammad Shallalaahu alaihi wa Salam.
Kandungan dari إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ sampai وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ artinya: “Sesungguhnya segala puji hanyalah milik Allah. Kami memuji, meminta pertolongan dan memohon ampun kepada-Nya, serta berlindung diri kepadanya dari keburukan jiwa kami dan keburukan perbuatan-perbuatan kami. Barang siapa diberi hidayah oleh Allah maka tidak ada yang mampu menyesatkannya. Dan barang siapa yang disesatkan Allah maka tidak ada yang mampu memberinya hidayah. Saya bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah, tidak ada sekutu bagi-Nya dan saya bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya”
Lalu apakah makna khutbatul hajat bagi khatib? Setelah menyampaikan tidak adanya pujian kecuali hanya bagi Allah maka khatib bersungguh-sungguh berdiri dihadapan jamaah ”meminta pertolongan dan memohon ampun kepada Allah, berlindung kepada Allah dari keburukan jiwanya dan keburukan perbuatan-perbuatannya”. Artinya, seorang khatib yang berdiri diatas mimbar adalah bertaubat kepada Allah dengan persaksian jamaah. Oleh karena itu, alangkah bodohnya apabila ada khatib yang khutbahnya tidak menyampaikan Al Haq. Lebih bodoh lagi apabila sampai ada khatib yang berdiri di mimbar tidak dalam rangka taubat namun kampanye politik atau menyampaikan pesan sponsor. Khatib semacam ini harus ditolak sebab khatib harus bertaubat kepada Allah, bukan mencari-cari jamaah, bukan berdagang dan bukan untuk memperlancar bantuan. Khatib harus yakin kebenaran Islam. Limpahan rezeki Allah sangatlah luas. Khatib haram bersifat plin-plan, apalagi ketahuan mudah berdusta atau ingkar janji. Khatib harus selalu ingat ayat-ayat dalam khutbatul hajat. Khatib harus terdahulu , اتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ (bertaqwa dengan sebanar-benarnya takwa). Dia harus lebih dahulu mengamalkan surah al Ahzab 70-71:
يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَقُوْلُوْا قَوْلاً سَدِيْدًا. يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوْبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللهَ وَرَسُوْلَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيْمًا.
“Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar, niscaya Allah memperbaiki bagimu amalan-amalanmu dan mengampuni bagimu dosa-dosamu. Dan barang siapa menta'ati Allah dan Rasul-Nya maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar”.
Artinya, perintah taqwa harus disandingkan dengan perkataan yang benar. Apabila mengatakan perkataan yang benar maka Allah yang memperbaiki amalan-amalan kita dan mengampuni dosa-dosa kita. Intinya, kita dipastikan bertaubat apabila mengatakan perkataan yang benar. Dengan demikian, tidak mungkin khatib berani berdiri diatas mimbar apabila ia pendusta. Tidak mungkin khatib bergelar al kaddzab.
Jamaah Jum’at yang berbahagia.
Khusus menyongsong bulan ramadhan, kepada fihak-fihak yang membangun dan mengelola masjid agar mengupayakan peningkatan taqwa dengan penekanan surah al Ahzab ayat 70: يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَقُوْلُوْا قَوْلاً سَدِيْدًا “Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar. Maksudnya, selama ramadhan nanti dan seterusnya, seluruh ceramah, khutbah dan kegiatan di masjid harus perkataan yang benar. Apabila tidak maka masjid akan termasuk katagori surah At Taubah ayat 107. Oleh karena itu saya peringatkan kepada pembangun dan pengelola masjid dengan surah At Taubah 107 sampai 110: "[107] Dan sungguh ada orang-orang yang mendirikan masjid untuk menimbulkan kemudharatan, untuk kekafiran dan untuk memecah belah orang-orang mukmin serta untuk menunggu kedatangan orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya sejak dahulu. Mereka bersumpah: "Kami tidak menghendaki kecuali kebaikan." Dan Allah menjadi saksi bahwa mereka itu pendusta. [108] Janganlah kamu beribadah di dalam masjid itu selama-lamanya. Sesungguhnya masjid yang didirikan diatas dasar takwa sejak hari pertamanya adalah lebih patut kamu beribadah di dalamnya. Di dalamnya ada orang-orang yang ingin membersihkan diri. Dan Allah menyukai orang-orang yang bersih. [109] Maka apakah orang-orang yang mendirikan bangunannya di atas dasar takwa kepada Allah dan keridaan (Nya) yang baik, ataukah yang mendirikan bangunannya di tepi jurang, lalu bangunan itu jatuh bersama-sama dengan mereka ke dalam neraka Jahanam? Dan Allah tidak memberikan petunjuk kepada orang-orang yang dzalim. [110] Bangunan yang mereka dirikan itu senantiasa menjadi penyebab keraguan di dalam hati mereka kecuali apabila hati mereka itu hancur. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”.
Dengan demikian, berhati-hatilah dengan masjid dan kedustaan di dalamnya, apalagi dilakukan selama bulan ramadhan.
Jamaah Jum’at yang berbahagia.
Untuk pelaksanaan ramadhan, Allah memerintahkan secara khusus dalam surah Al Baqarah ayat 183 sampai 187. Dengan begitu, mari kita tolak semua petunjuk ramadhan apabila keluar dari kerangka ayat-ayat diatas. Kita harus harus tegas menolak siapa pun khatib atau pemateri ramadhan, apabila tidak mengacu kepadanya. Contoh, berulang kali selama bulan ramadhan di Buntok, setelah khatib atau penceramah membaca Al Baqarah 183, dia menjelaskan dengan pendapat yang katanya perkataan Imam Al Ghazali, bahwa orang yang berpuasa terbagi 3, yaitu puasa orang awam, puasa orang khawash dan puasa orang khawas bil khawash. Apabila keterangan semacam ini kita biarkan maka selamanya bertentangan dengan Allah dan Rasul-Nya. Kenapa begitu? Karena ini jelas-jelas bathil, sebab keterangan ini tidak datang dari sumber syariat. Lalu dimana bathilnya? Sebelum Imam Ghazali berkata seperti itu, Rasulullah dan para sahabat sudah melaksanakan shaum ramadhan dengan Al Baqarah 183 sampai 187. Artinya, kita harus berani menolak perkataan ulama yang tidak proporsional apalagi bertentangan dengan syariat. Dengan demikian adanya perkataan, misalnya: ”Menurut Imam Syafi’i, puasa itu hukumnya wajib,” harus pula kita singkirkan, sebab Allah yang mewajibkan shaum sebelum Imam Syafi’i mengeluarkan pendapatnya. Rasulullah dan para sahabat sudah shaum sebelum Imam Syafi’i mewajibkannya. Disisi lain, malah ada yang mengkampanyekan ashobiyah dengan mengatakan: ”Karena rokok itu diharamkan Muhammadiyah maka secara organisasi kita wajib mengharamkannya”. Allahu Akbar. Kenapa ada halal dan haram menurut ulama atau organisasi? Kenapa ada tanggal 1 ramadhan ditetapkan satu bulan sebelumnya dan kenapa ada 1 ramadhan lain menurut pendapat yang lain? Agar tidak bingung, mari kembalikan kepada Allah dan Rasul-Nya, yang dalam hal ini Al Baqarah 183 sampai 187.
Dalam Al Baqarah 183 Allah berfirman: "[183] Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu shiyam (berpuasa) sebagai mana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa",
Coba perhatikan ayat ini? Sangat jelas yang mewajibkan shiyam adalah Allah, lalu kenapa kita merasa diwajibkan oleh Imam Syafi’i? Nabi Muhammad rasulullah yang kita bersyahadat dengannya, yang membawakan al Qur’an kepada kita, lalu kenapa kita ganti dengan bersyahadat kepada Syafi’i? Ingat, Allah yang mewajibkan shiyam, Rasulullah Muhammad yang menyampaikan ajaran ini kepada kita.
Kemudian ayat ini menerangkan tujuan shiyam (puasa) yaitu agar kita bertaqwa. Allah yang menetapkan tujuan ini, Nabi Muhammad yang menerangkannya kepada kita, lalu kenapa kita memakai pendapat Imam Ghazali. Coba fikir, kenapa kita ganti tujuan shiyam dari ketetapan Allah dengan pendapat Al Ghazali? Apakah tujuan taqwa dari Allah kurang hebat sehingga harus diganti supaya menjadi khawash bahkan khawash bil khawash. Ingat, mengganti syariat berarti pindah agama. Mengganti yang dibawa Muhammad berarti mengganti syahadat.
Jamaah Jum’at yang berbahagia.
Didalam surah al Baqarah 184 Allah berfirman: "[184] (yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka barang siapa di antara kamu sakit atau dalam perjalanan (lalu berbuka), maka (baginya berpuasa) sebanyak yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin. Barang siapa dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui."
Inilah keringanan Allah atas kewajiban shaum di bulan ramadhan yaitu boleh tidak puasa apabila dalam perjalanan dan wajib membayar fidyah bagi yang berat mengerjakannya. ”Barang siapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui”.
KHUTBAH KEDUA
إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهْ وَنَعُوذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْهُ فَلاَ هَادِيَ لَهُ. وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ.
أَمَّا بَعْدُ؛
Jamaah Jum’at yang berbahagia.
Selanjutnya Al Baqarah 185 menerangkan: "[185] Bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan Al Qur'an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang batil).Barang siapa di antara kamu menyaksikan bulan itu maka berpuasa pada bulan itu, dan barang siapa sakit atau dalam perjalanan maka (baginya) sebanyak yang ditinggalkannya itu pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk yang diberikan kepadamu supaya kamu bersyukur."
Ayat ini tegas menyebut Al Qur’an diturunkan pada bulan ramadhan. Dengan begitu maka bulan ramadhan adalah bulannya Al Qur’an. Lalu kapan pastinya Al Qur’an diturunkan? Allah menjelaskannya diantaranya dalam surah Al Qadr ayat 1: "[1] Sesungguhnya Kami telah menurunkannya pada malam qadr",
Lalu kapan malam qadr atau lailatur qadr itu terjadi? Berdasarkan hadits-hadits shahih dari Aisyah yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, dari Abu Hurairah yang diriwayatkan Bukhari, Darimi dan Ibnu Khuzaimah, dari Ibnu Abbas yang diriwayatkan Ahmad, Bukhari dan Abu Daud dan beberapa riwayat shahih lainnya, dengan jelas lailatul qadar terjadi antara tanggal 21 sampai 29 ramadhan. Dengan begitu maka penetapan 17 ramadhan sebagai Nuzululul Qur’an adalah bathil, dusta dan tanpa keterangan dari Allah dan Rasul-Nya. Ini harus kita tolak.
Disamping menjelaskan nuzulul Qur’an, Al Baqarah 185 juga menjelaskan cara menentukan 1 ramadhan untuk memulai ibadah ramadhan. Ayat ini menetapkan penentuan 1 ramadhan dengan ”faman syahida minkumusy syahra fal yashumhu”, atau ”barang siapa diantara kamu menyaksikan bulan itu maka shaum-lah”.
Dengan demikian, kita baru mengetahui tanggal 1 ramadhan setelah ada diantara kita yang menyaksikan bulannya pada sore hari tanggal terakhir bulan sya’ban. Inilah petunjuk Al Baqarah 185, karena Al Qur'an diturunkan sebagai petunjuk bagi manusia dan sebagai penjelasan atas petunjuk itu dan menjadi pembeda antara yang hak dan yang batil.
Jamaah Jum’at yang berbahagia.
Dalam Al Baqarah 186 Allah menjelaskan begitu dekatnya Dia dengan hamba-hamba-Nya. ”Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka memenuhi (segala perintah) Ku dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada didalam kebenaran".
Akhirnya, kita sudahi keterangan ini dengan surah Al Baqrah 187: "[187] Dihalalkan bagi kamu pada malam bulan puasa bercampur dengan istri-istri kamu; mereka adalah pakaian bagimu dan kamu adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah memaklumi kamu dan memberi maaf kamu. Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah kamu sehingga terang bagimu benang putih dari benang hitam yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai malam, janganlah kamu campuri mereka tatkala kamu beri`tikaf di masjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa."
Sempurna. Inilah petunjuk pelaksanaan ramadhan yang sempurna. Yang pertama, kita disuruh beribadah sahur bercampur dengan istri-istri kita. Kalau malamnya sudah sahur yang itu, insya Allah sangat mampu mengelola mata dan syahwat kepada lawan jenis. Kedua, Kita disuruh sahur makanan dan minuman disepanjang malam dari batas berbuka sampai terbitnya fajar. Dengan demikian, batas shaum kita adalah sejak adzan shubuh sampai berbuka ketika dikumandangkan adzan maghrib. Dan batas sahur kita adalah ketika berbuka diwaktu adzan maghrib sampai berkumandangnya adzan shubuh. Tidak ada itu waktu imsak 10 menit sebelum adzan shubuh, ini bathil. Kenapa bathil? Karena imsak adalah rukun shaum yang tegas difirmankan dalam Al Baqarah 187, yaitu menahan diri dari makan, minum dan segala hal yang membatalkan puasa dari terbit fajar hingga tiba maghrib. Allah berfirman: ”Maka sekarang campurilah istri-istrimu dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah kamu hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datangnya) malam”. Inilah imsak yang sesungguhnya. Maka dengan adanya keterangan ini, saya dengan tegas mengajak mempraktekkan ibadah ramadhan sesuai petunjuk Al Baqarah 183 sampai 187. Inilah petunjuk Allah yang dibawa oleh Muhammad Rasulullah. Dengan ini pula mari kita hentikan segala dusta dimulai ramadhan ini, dan mari kita tolak siapa pun yang berdakwah selain kepada petunjuk Allah dan Rasul-Nya. Saya kutip kembali tujuan shaum dalam Al Baqarah 183, yaitu: ”Laallakum tattaqun” = agar kamu meraih taqwa. Dan saya kutip pula akhir Al Baqarah ayat 187: ”Kadzalika yubayyinullahu aayaatihi linnaasi laallahum yattaquun” = Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia supaya mereka bertakwa”. Maksudnya pelaksanaan ibadah ramadhan dari ayat 183 sampai 187 bertujuan meraih taqwa, bukan untuk meraih tujuan lain.
Buntok, 1 Agustus 2010
Disampaikan di Masjid As-Sunnah Buntok, Jum’at, 13 Agustus 2010.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar