Pengantar Redaksi:
Meski banyak ditentang, teori tentang benturan peradaban yang
pernah dimunculkan oleh cendekiawan Amerika Samuel P. Huntington pada
faktanya tidak bisa dipungkiri. Pasca era Perang Dingin, dengan melihat
realitas politik yang ada, kita melihat bahwa benturan antara peradaban
Barat dan Islam sesungguhnya sedang berlangsung. Bahkan, boleh
dikatakan, benturan Islam Barat saat ini sebetulnya hanyalah lanjutan
belaka dari benturan yang pernah terjadi pada masa lalu, khususnya pada
era Perang Salib.
Telaah Kitab kali ini sekadar ingin menegaskan kembali tesis Huntington di atas dalam bukunya, Clash of Civilization, yang menunjukkan bahwa benturan peradaban antara Islam dan Barat adalah hal yang niscaya.
Pengantar
Sebagaimana diketahui, era Perang Dingin yang berlangsung sejak 1946,
telah berakhir pada 1989, menyusul runtuhnya Uni Sovyet tahun 1990 dan
berakhirnya bipolaritas Kapitalisme–Sosialisme, yang diikuti dengan
lepasnya wilayah-wilayah negara bekas Uni Sovyet seperti Azerbaijan,
Kirgistan, Turkmenistan, dan Uzbekistan. Francis Fukuyama, pemikir
Amerika keturunan Jepang, menanggapi peristiwa ini dengan menyebutnya
sebagai Babak Akhir Sejarah (The End of History). Menurutnya,
benturan antara Kapitalisme dan Sosialisme berakhir, dan dunia akan
terpola pada semata-mata sistem demokrasi liberal dengan Amerika Serikat
sebagai kaptennya. Era ini diproklamirkan oleh George Bush sebagai The New World Order (Tata Dunia Baru) dengan Amerika sebagai single player dan negara lain sebagai buffer-nya.
Namun, seiring dengan terpolarisasinya berbagai negara ke dalam
jaringan sistem Kapitalisme global, muncul sebuah analisis futuristik
dari Samuel P. Huntington tentang masa depan pola hubungan internasional
yang menunjukkan kecenderungan antagonistik dan diwarnai konflik.
Secara lebih tegas dia mengatakan, konflik itu semakin meningkat antara
Islam dan masyarakat-masyarakat Asia di satu pihak dan Barat di pihak
lain.1 Lebih jauh lagi, Huntington memprediksikan, tantangan paling
serius bagi hegemoni Amerika pada masa mendatang adalah revivalisme
Islam dan peradaban Cina (baca: Konfusianis).
Kini perseteruan antara Islam dan Barat semakin meruncing setelah
terjadi Tragedi WTC 11 September 2001. Kasus ini telah berhasil
dieksploitasi sedemikian rupa oleh AS dan sebagai jalan bagi
pemberlakuan UU antiteroris di seluruh dunia. Terorisme yang dimaksudkan
oleh Amerika adalah Islam dan tidak ada pengertian lain. Noam Chomsky
menyebut permainan stigma Barat sebagai “newspeak” untuk membatasi pandangan dan realita sehingga ketika kata-kata teroris, fundamentalis, ekstremis, dan kelompok radikal diucapkan maka konotasinya tidak jauh dari negara-negara Timur Tengah yang notabene adalah negeri-negeri Islam.
Bahkan Perdana Menteri Inggris Tony Blair menyebut ideologi Islam
sebagai ‘ideologi setan’. Dalam pidatonya pada Konferensi Kebijakan
Nasional Partai Buruh Inggris, Blair menjelaskan ciri ideologi setan,
yaitu: (1) Menolak legitimasi Israel; (2) Memiliki pemikiran bahwa
syariat adalah dasar hukum Islam; (3) Kaum Muslimin harus menjadi satu
kesatuan dalam naungan Khalifah; (4) Tidak mengadopsi nilai-nilai
liberal dari Barat.
Hakikat Benturan Peradaban
Peradaban (hadhârah) secara bahasa adalah al-hadhar (tempat tinggal di suatu wilayah yang beradab seperti kota), sebagai lawan/kebalikan dari kata al-badwu (derah pinggiran kota dan pedesaan/pedalaman.2
Di kalangan Barat, peradaban diistilahkan dengan civilization; di ambil dari kata civilis,
yang berarti memiliki kewarganegaraan. Istilah ini pertama kali
digunakan dalam bahasa Prancis dan Inggris pada akhir Abad XVIII untuk
menggambarkan proses progresif perkembangan manusia; sebuah gerakan yang
menuntut perbaikan, keteraturan serta penghapusan barbarisme dan
kekejaman. Di balik pemunculan pemahaman ini terletak spirit pencerahan
Eropa—yang kemudian dikenal dengan renaissance—dan rasa percaya diri
terhadap karakter progresif era modern.3
Istilah ini kemudian dipindahkan ke dalam bahasa Arab dengan menggunakan dua ungkapan, yaitu hadhârah dan madaniyah.
Namun demikian, penggunaan kedua istilah ini masih menimbulkan
persoalan baru di kalangan penggunanya. Oleh karena itu, An-Nabhani
kemudian menspesifikasikan penggunaan kedua istilah tersebut ke dalam
bukunya Nizhâm al-Islâm. Menurut An-Nabhani, hadhârah adalah sekumpulan persepsi—yang dimanifestsikan dalam perilaku—tentang kehidupan. Adapun madaniyah adalah bentuk-bentuk fisik dari benda-benda yang terindera yang digunakan dalam berbagai aspek kehidupan.4
Muhammad Husein Abdullah kemudian membagi madaniyah ke dalam dua kategori, yaitu:
(1) Yang berhubungan dengan hadhârah, yaitu yang lahir dari suatu sudut pandang tertentu. Misal, rumah tidak terlepas dari hadhârah,
karena seorang Muslim akan membangun rumah dengan model yang dapat
menjaga aurat penghuninya, sementara orang sosialis atau kapitalis tidak
akan memperhatikan hal-hal itu.
(2) Yang tidak berhubungan dengan hadhârah, yaitu
hasil dari ilmu pengetahuan dan industri seperti alat-alat laboratorim
dan furniture. Semua ini ‘netral’ dan bersifat universal.5
Walhasil, peradaban (hadhârah) berkaitan dengan pandangan hidup (world view) atau yang oleh an-Nabhani diistilahkan dengan mabda’ (ideologi), yang didefinisikan sebagai: akidah yang lahir dari proses berpikir yang di atasnya dibangun sistem.6 Ditinjau dari definisi ini, mabda’ menunjukkan kelengkapan konsep yang mencakup akidah dan sistem.
Dengan demikian, benturan peradaban hakikatnya adalah benturan yang
terjadi antara sejumlah pemikiran dan atau ideologi yang berbeda atau
bertolak belakang.
Dalam konteks peradaban, Islam jelas berbeda dengan peradaban lain,
baik Kapitalisme maupun Sosialisme. Fakta menunjukkan bahwa
masing-masing ideologi memandang yang lain sebagai musuhnya. Inilah
kenyataan yang tidak dapat dipungkiri, kecuali oleh para pendusta dan
pembohong.7
Beberapa Faktor Pemicu Benturan Peradaban Islam dan Barat
Banyak analisis yang menjelaskan sebab dan faktor yang memicu
terjadinya benturan peradaban antara Islam dan Barat ini. Secara
ringkas, dapat kita bagi menjadi 3 faktor utama sebagai berikut:
1. Faktor Agama.
Sejarah telah mencatat Baratlah yang memulai perang terhadap umat
Islam yang kemudian lebih dikenal dengan Perang Salib atau Crusade.
Perang Salib terjadi selama 1 abad (1096–1192 M), yang berlangsung
selama tiga tahap: antara tahun 1096–1099 M; antara tahun 1147–1149 M;
dan antara tahun 1189-1192 M.8 Pembantaian kaum Muslim oleh tentara
salib di Spanyol (Andalusia) abad XV M, termasuk serangan secara
pemikiran dan kebudayaan (tsaqâfah) seperti yang dilakukan oleh kaum zindiq serta para misionaris dan orientalis, adalah juga berlatar belakang agama.9
Hingga kini, ‘semangat’ Perang Salib ini masih melekat dalam benak
orang-orang Barat, yang kemudian menjelma menjadi ‘prasangka buruk’
(stigma) terhadap ajaran Islam dan umat Islam. Edward Said, dalam
bukunya yang berjudul, Covering Islam, menulis bahwa
kecenderungan memberikan label yang bersifat generalisasi mengenai Islam
dan orang Islam, tanpa melihat kenyataan sebenarnya, menjadi salah satu
kecenderungan kuat dalam media Barat. Dari waktu ke waktu, prasangka
semacam itu selalu muncul dan muncul kembali ke permukaan.
Kata “christendom” dan “holy war” mulai banyak
digunakan dalam berbagai tulisan di media massa Barat, seolah-olah ingin
memperlihatkan bahwa sedang terjadi suatu “perang suci” antara Barat
dan dunia lain di luarnya, terutama Dunia Islam.
2. Faktor ekonomi.
Lenyapnya institusi Khilafah telah melebarkan jalan bagi negara
imperialis Barat untuk menghisap berbagai kekayaan alam milik umat
Islam. Sejak masa penjajahan militer era kolonial hingga saat ini, Barat
telah melakukan eksploitasi ‘besar-besaran’ atas sumberdaya alam yang
dimiliki umat Islam.
Sebaliknya, jika Khilafah Islam kembali berdiri dan berhasil
menyatukan negeri-negeri Islam sekarang, berarti Khilafah Islam akan
memegang kendali atas 60% deposit minyak seluruh dunia, boron (49%),
fosfat (50%), strontium (27%), timah (22%), dan uranium yang tersebar di
Dunia Islam (Zahid Ivan-Salam, dalam Jihad and the Foreign Policy of the Khilafah State).
Secara geopolitik, negeri-negeri Islam berada di kawasan jalur laut
dunia yang strategis seperti Selat Gibraltar, Terusan Suez, Selat
Dardanella dan Bosphorus yang menghubungkan jalur laut Hitam ke
Mediterania, Selat Hormuz di Teluk, dan Selat Malaka di Asia Tenggara.
Dengan menempati posisi strategis ini, kebutuhan dunia terutama Barat
sangat besar akan wilayah kaum Muslim. Ditambah lagi dengan potensi
penduduknya yang sangat besar, yakni lebih dari 1.5 miliar dari populasi
penduduk dunia. Melihat potensi tersebut, wajar jika kehadiran Khilafah
Islam sebagai pengemban ideologi Islam ini dianggap sebagai
‘tantangan’, atau lebih tepatnya lagi, menjadi ancaman bagi peradaban
Barat saat ini.
Walhasil, benturan antara kepentingan umat Islam yang ingin
mempertahankan hak miliknya dan kepentingan negara Barat kapatalis tidak
terhindarkan lagi.3. Faktor ideologi.
Desember 2004 lalu, National Intelelligence Council’s (NIC) merilis sebuah laporan yang berjudul, “Mapping the Global Future”.
Dalam laporan ini diprediksi empat skenario dunia tahun 2020, salah
satu di antaranya adalah akan berdirinya “A New Chaliphate”, yaitu
berdirinya kembali Khilafah Islam—sebuah pemerintahan Islam global yang
mampu memberikan tantangan terhadap norma-norma dan nilai-nilai global
Barat. Terlepas dari apa maksud dipublikasikannya analisis ini, paling
tidak, kembalinya negara Khilafah Islam menurut kalangan analisis dan
intelijen Barat termasuk hal yang harus diperhitungkan. Pertanyaannya,
mengapa harus Khilafah? Jawabannya, karena potensi utama dari negara
Khilafah adalah ideologi yang diembannya. Khilafah Islam adalah negara
global yang dipimpin oleh seorang khalifah dengan asas ideologi Islam.
Ideologi Islam ini pula yang pernah menyatukan umat Islam seluruh dunia
mulai dari jazirah Arab, Afrika, Asia, sampai Eropa. Islam mampu melebur
berbagai bangsa, warna kulit, suku, ras, dan latar belakang agama yang
berbeda.10 Kelak, Khilafahlah yang ‘bertanggung jawab’ untuk mengemban
dan menyebarkan ideologi Islam ke seluruh penjuru dunia dengan dakwah
dan jihad.
Tentu saja Barat, dengan ideologi Kapitalismenya yang masih dominan saat ini, tidak akan berdiam diri. Berbagai upaya akan dilakukan Barat untuk menggagalkan skenario ketiga ini (kembalinya Khilafah). Secara pemikiran Barat akan membangun opini negatif tentang Khilafah Islam. Diopinikan bahwa kembali pada Khilafah adalah sebuah kemunduran, kembali ke zaman batu yang tidak berperadaban dan berprikemanusiaan. Sebaliknya, upaya penyebaran ide-ide Barat akan lebih digencarkan, seperti demokratisasi yang dilakukan di Timur Tengah saat ini.
Hubungan Peradaban dengan Negara
Peradaban sangat erat hubungannya dengan eksistensi negara. Peradaban
dapat dianggap sebagai “isi”, sedangkan negara adalah “wadah”-nya.
Dalam keadaan tanpa “wadah”, “isi” akan tercecer dan tercerai-berai
tanpa kegunaan yang berarti.
Hubungan erat peradaban dengan eksistensi negara ini dapat dibuktikan
dari fakta sejarah perjalanan umat manusia. Tidak satu pun peradaban
dapat eksis secara sempurna, kecuali jika ia ditegakkan oleh satu atau
beberapa negara yang mendukungnya. Peradaban Barat sulit dibayangkan
dapat menjadi hegemoni seperti sekarang ini kalau tidak ada
negara-negara pendukungnya seperti Amerika Serikat dan negara-negara
Eropa Barat seperti Inggris, Prancis, dan lain-lain. Demikian pula
peradaban Islam pada masa lalu, tidak akan dapat tegak sempurna tanpa
eksistensi Daulah Islamiyah yang eksis sekitar 13 abad lamanya, sejak
hijrahnya Rasulullah saw. ke Madinah (622 M) hingga hancurnya Khilafah
Utsmaniah di Turki (1924 M).
Metode Islam menghadapi Benturan Peradaban
Secara umum agenda untuk ‘menyambut’ benturan peradaban antara Islam dan Barat, dapat diringkas sebagai berikut:
1. Melakukan pembinaan di tengah-tengah umat.
Bagaimanapun, semua upaya penghancuran itu akan lebih mudah dihadapi kalau umat Islam kebal. Pembinaan (tatsqîf)
di tengah umat adalah dalam rangka mewujudkan pola pikir yang islami,
dan melatih ketahanan pola jiwa mereka dengan selalu berada dalam
suasana taqarrub ilâ Allâh.
2. Melancarkan perang pemikiran dan mengungkap makar asing.
Penghancuran Islam sering tidask disadari oleh kaum Muslim. Karena itu, membongkar agenda tersembunyi dari penjajah (kasyf al-khuthath)
harus selalu dilakukan. Mereka juga harus selalu mengkritisi
pemikiran-pemikiran yang menyimpang dan menyesatkan yang diklaim oleh
kalangan liberal sebagai pemikiran Islam. Jika pemikiran-pemikiran ini
tidak ditunjukkan kekeliruan dan kesalahnnya, maka umat Islam yang awam
akan menyangka bahwa hal itu adalah bagian dari Islam.
3. Membangun kesadaran politik Islam dan memberikan gambaran Islam sebagai solusi.
Kesadaran politik Islam yang benar harus ditumbuhkan di tengah-tengah
umat. Yang dimaksud adalah politik Islam yang akan membebaskan manusia
dari ketertindasan dalam segala aspeknya menuju pada keridhaan Allah
semata-mata. Untuk itu, para aktivitis dakwah harus mampu memberikan
gambaran syariat Islam sebagai solusi atas segala masalah manusia.
4. Membangun tatanan politik Islam, yaitu Khilafah Islamiyah.
Dengan tumbuhnya kesadaran politik Islam di tengah-tengah masyarakat maka berarti telah tersedia ‘perangkat keras’ (yaitu dukungan dari umat Islam) dan ‘perangkat lunak’
(yaitu konsep dan solusi Islam), yang diperlukan selanjutnya adalah
membangun tatanan politik Islam, yaitu negara Khilafah Islamiyah. Dengan
tatanan ini, upaya untuk menghentikan penghancuran Islam akan dapat
dilakukan lebih efektif dan efisien lagi.
Keniscayaan Negara Khilafah dalam Menghadapi Benturan Peradaban
Hancurnya Khilafah Islamiyah pada tahun 1924 telah melenyapkan
“wadah” bagi peradaban Islam Dengan hancurnya Khilafah, peradaban Islam
telah kehilangan kekuatan dan vitalitasnya. Dapat dikatakan, peradaban
Islam nyaris musnah dari realitas kehidupan, karena Khilafah yang
menopangnya telah tiada. Sebagai gantinya, peradaban Barat sekularlah
yang kemudian mendominasi kaum Muslim saat ini.
Maka dari itu, eksistensi negara Khilafah adalah sebuah keharusan
yang tidak bisa ditawar-tawar lagi agar peradaban Islam dapat
mengungguli peradaban Barat. Tentu, negara Khilafah yang akan terjun ke
kancah benturan peradaban itu haruslah negara yang kuat, yang didukung
oleh kekuatan ideologi, kekuatan ekonomi, dan kekuatan militer yang
handal. Wallâhu a‘lam. []
Catatan kaki:
1. Samuel P. Huntington, Benturan Peradaban, hlm. 333.
2. Muhammad Husein Abdullah, Studi Dasar-dasar Pemikiran Islam, 2002, hlm. 149.
3. John B. Thompson, Kritik Ideologi Global; Relasi Ideologi dan Komunikasi Masa, 2004, hlm. 192. Lihat juga Huntington: Benturan Antar Peradaban (cet. ke-2), 2001, hlm. 38.
4. Taqiyuddin An-Nabhani, Peraturan Hidup dalam Islam, 2001, hlm. 92.
5. Abdullah, Op. Cit., hlm. 150.
6. Hafidz Abdurrahman, Diskursus Islam Politik dan Spiritual, 2004, hlm. 17.
7. Muhammad Suardi Basri, Makalah berjudul “Memahami Esensi Benturan Peradaban (Dari Konflik Bipolar Menuju Konflik Bipolar Baru)”.
8. Lihat Henry S Lucas, 1993, Sejarah Peradaban Barat Abad Pertengahan, Penerbit Tiara Wacana, Yoyakarta, hlm. 115- 130.
9. An-Nabhani, Ad-Dawlah al-Islâmiyah, Penerbit Hizbut Tahrir, 2002, hlm. 168-173.
10. An-Nabhani, Op. Cit., hlm. 161-166.
11. Abdul Qadim Zallum, Mîtsâq al-Ummah (1997), pada poin 66.