Kaum muslimin diperintahkan Allah untuk mengikuti dan mencontoh
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam seluruh syari’atnya.
Demikian pula yang berkaitan dengan penentuan ibadah besar seperti puasa
Ramadhan, Idul Fithri dan haji. Oleh karena itu Rasulullh secara tegas
mengajarkan cara penentuannya dengan rukyat hilal (melihat hilal) dengan
mata dan bila terhalang mendung atau yang sejenisnya maka dengan cara
menyempurnakan bulan sya’ban 30 hari untuk Ramadhan atau Ramadhan 30
hari untuk Syawal [1].
Demikianlah contoh dan ajaran Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam
permasalahan ini, sehingga hukum berpuasa Ramadhan dan berbuka dari
bulan Ramadhan bergantung kepada rukyah hilal. Tidak berpuasa kecuali
dengan melihatnya dan tidak berbuka dari Ramadhan kecuali dengan
melihatnya langsung dan seandainya melihat dengan alat teropong dan
alat-alat yang dapat memperjelas penglihatan maka itu dianggap sebagai
penglihatan dengan mata [2]
Rukyah (melihat hilal) lah yang menjadi dasar syar’i dalam hukum puasa
dan Idul Fithri. Adapun hisab tidak dapat dijadikan sandaran dalam
penentuan puasa menurut syari’at.[3]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: Tidak diragukan lagi hal ini telah
ditetapkan dengan dasar sunnah yang shahih dan atsar para sahabat,
sungguh tidak boleh bersandar kepada hisab. Orang yang bersandara kepada
hisab telah menyimpang dari syari’at dan berbuat kebid’ahan dalam
agama. Dia telah salah secara akal dan ilmu hisab sendiri, karena ulama
hisab telah mengetahui bahwa rukyat tidak dapat ditentukan dengan
perkara hisab, karena hilal tersebut berbeda-beda sesuai dengan
perbedaan ketinggian dan kerendahan suatu tempat dan lainnya.[4]
Imam Ibnu Daqiqil Ied berkata: Menurut pendapat saya, hisab tidak boleh dijadikan sandaraan dalam puasa.[5]
Ketika mengomentari hadits “إِنَّا أُمَّةٌ أُمِّيَّةٌ لَا نَكْتُبُ وَلَا
نَحْسُبُ ”: Imam Ibnu Hajar al-Asqalani berkata :‘Pada mereka (bangsa
Arab) ada orang yang dapat menulis dan mengetahui hisab, (dinamakan
umiyun) karena yang menulis sangat sedikit sekali. Yang dimaksud hisab
dalam hadits ini adalah hisab nujum dan perjalanannya (falak) dan mereka
hanya sedikit yang mengerti hal ini, sehingga hukum berpuasa dan
lainnya tergantung kepada rukyah agar tidak menyulitkan mereka karena
sulitnya hisab. Lalu hukum ini berlaku terus pada puasa walaupun
setelahnya banyak orang yang telah mengetahui hisab. Bahkan dzahir
hadits dipahami tidak adanya hukum puasa dengan hisab. Hal ini
dijelaskan dalam hadits-hadits lainnya yang berbunyi: فَإِنْ غُمَّ
عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوْا الْعِدَّة ثَلاَثِيْنَ dan tidak menyatakan:
“Tanyalah kepada Ahli Hisab!”.’.
Lalu beliau berkata lagi: ‘Sebagian kaum berpendapat merujuk kepada ahli
hisab. Mereka adalah Syiah Rafidhah, dan dinukilkan dari sebagian ahli
fiqih bahwa mereka menyetujuinya, Al Baaji berkata: ‘Ijma’ Salaush
Shalih sudah menjadi hujjah atas mereka’. Dan Ibnu Bazizah berkata: ‘Ini
adalah madzhab yang batil, sebab syari’at telah melarang memperdalam
ilmu perbintangan, karena ia hanyalah persangkaan dan hipotesa semata
tidak ada kepastian dan tidak juga perkiraan yang rajih (zhann rajih).
Ditambah lagi seandainya perkara puasa dihubungkan dengannya. Maka
tentulah menyulitkan, karena yang mengetahuinya sedikit sekali.’.[6]
Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin berkata: Tidak wajib berpuasa
dengan penentuan hisab, seandainya ulama hisab menetapkan bahwa malam
ini termasuk Ramadhan, namun mereka belum melihat hilal maka tidak
berpuasa. Karena syari’at menggantung hukum berpuasa ini dengan perkara
yang terindera yaitu rukyat hilal.[7]
Jadi jelaslah hisab tidak dapat dijadikan sandaran dalam penentuan awal bulan Ramadhan, Syawal dan Haji.
FAKTA DAN SYUBHAT
Dewasa ini berkembang penggunaan hisab dalam menentukan awal bulan
Ramadhan dan Syawal. Banyak orang yang menggunakannya berusaha membela
dan mencari dalih-dalih yang menguatkan penggunaan hisab ini serta
menyatakan hal itu berdasarkan pada ayat Al Qur’an dan hadits Nabi dan
juga ilmu hisab.
Diantara syubhat yang mereka sampaikan adalah.
1. Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.
فَمَن شَهِدَ مِنكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat
tinggalnya) di bulan itu, hendaklah dia berpuasa.” [Al Baqarah : 185]
Jawab.
Dalil ini tidak dapat dipakai untuk membenarkan penggunaan hisab dalam
penentuan awal Ramadhan, sebab tidak ada penjelasan cara menentukan awal
bulan tersebut. Ayat yang mulia ini tentunya kita fahami dengan
penjelasan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam menentukannya.
Yaitu dengan melihat hilal (rukyat) atau menyempurnakan 30 hari bulan
sya’ban bila terhalang melihatnya.
2. Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.
هُوَ الَّذِي جَعَلَ الشَّمْسَ ضِيَآءً وَالْقَمَرَ نُورًا وَقَدَّرَهُ
مَنَازِلَ لِتَعْلَمُوا عَدَدَ السِّنِينَ وَالْحِسَابَ مَاخَلَقَ اللهُ
ذَلِكَ إِلاَّ بِالْحَقِّ يُفَصِّلُ اْلأَيَاتِ لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ
Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan
ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan
itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu).
Allah tidak menciptakan yang demikian itu melainkan dengan hak. Dia
menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang
mengetahui. [Yunus : 5]
Jawab.
Ayat yang mulia ini tidak menunjukkan bahwa syari’at menganggap hisab
sebagai sarana dalam penentuan awal bulan. Ayat ini hanya menjelaskan
fungsi manzilah-manzilah bulan dalam mengetahui bilangan tahun dan
perhitungan waktu dan ini dijelaskan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam dengan melihat hilal.
Sedangkan firmanNya: (لِتَعْلَمُوا ) tidak berhubungan dengan sifat
matahari dan bulan namun berhubungan dengan taqdir manaazil (ketentuan
manzila bulan).
Syaikh Islam Ibnu Taimiyah berkata: Firman Allah (لِتَعْلَمُوا)
berhubungan dengan firmanNya (َقَدَّرَهُ ) bukan kepada (جَعَلَ ) karena
sifat matahari bersinar dan bulan bercahaya tidak memiliki pengaruh
dalam mengenal bilangan tahun dan hisab. Juga karena Allah tidak
menggantung kepada matahari dalam perhitungan bulan dan tahun dan hanya
menetapkannya dengan hilal, sebagaimana ditunjukkan oleh ayat. Demikian
juga karena Allah berfirman:
إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُوْرِ عِنْدَ اللهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِيْ
كِتَابِ اللهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّماَوَاتِ وَاْلأَرْضَ مِنْهَآ أَرْبَعَةٌ
حُرُمٌ
Sesungguhnya bilangan bulan di sisi Allah ialah dua belas bulan, dalam
ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, diantaranya
empat bulan haram. [at-Taubah :36]
Allah Subhanahu wa Ta'ala mengkhabarkan jumlah bulan adalah 12, sehingga
diketahui bahwa bulan-bulan tersebut diketahui dengan hilal [8].
Dengan demikian keumuman ayat ini tidak menunjukkan i’tibar hisab dalam penentuan bulan menurut syari’at.
3. Sabda Rasululloh Shallallahu 'alaihi wa sallam :
إِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَصُومُوا وَإِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَأَفْطِرُوا فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوا لَهُ
Jika kalian melihat hilal makxa berpuasalah dan jika melihatnya kembali
maka berbukalah (ber hari raya ‘ied), lalu jika kalian terhalangi (tidak
dapat melihatnya) maka perkirakanlah bulan tersebut. [9]
Melihat bentuk kata faqdurulah yang artinya maka perkirakanlah, adalah
bentuk amar (perintah) yang dalam hal ini juga hadits (sabda Nabi) yang
berkedudukan sebagai dalil. Sehingga menggunakan ilmu hisab, berarti
pengamalan terhadap ayat al Qur’an dan hadits. Jadi penggunaan hisab itu
bukanlah rekaan terhadap urusan agama (bid’ah).
Jawab:
Menurut ahli bahasa Arab, kata faqdurulah berasal dari makna taqdir
yaitu tentukanlah bukan perkirakanlah, sebagaimana firman Allah :
فَقَدَرْنَا فَنِعْمَ الْقَادِرُونَ
Lalu Kami tentukan (bentuknya), maka Kami-lah sebaik-baik yang menentukan. [al-Mursalat :23] [10]
Kemudian makna ini telah ditafsirkan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi
wa sallam sendiri melalui perawi hadits diatas yaitu Ibnu Umar dan yang
lainnya bahwa makna faqdurullah tersebut adalah menyempurnakan bilangan
Sya’ban tiga puluh hari [11], sehingga bila kita mau mengamalkan
hadits ini maka harus membawa maknanya kepada hadits yang lain bukan
sekedar mendapatkan sesuatu yang dianggap mendukung pendapatnya lalu
tidak mau berhujah dengan tafsirnya yang juga berasal dari Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam. sikap yang benar terhadap hadits-hadits
seperti ini adalah dengan membawa sesuatu yang muthlak kepada
penjelasnya, sehingga makna faqdurullah difahami dengan makna
menyempurnakan bulan, barulah kemudian dianggap telah mengamalkan hadits
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Kemudian seandainya kata faqdurullah dalam hadits ini dimaknai kira-kira
dengan ilmu hisab, maka hadits ini membolehkannya setelah tidak dapat
melihat hilal karena mendung dan sejenisnya, bukan sebelumnya.
Sedangkan mereka yang menjadikan hisab sebagai standar penentuan awal
Ramadhan tidaklah demikian. Tetapi mereka menentukannya jauh sebelum
waktu rukyat dan tidak melihat mendung atau cerah keadaan langitnya. Ini
jelas menyelisihi sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, yang
berarti satu perbuatan bid’ah yang tidak pernah dilakukan kaum muslimin
sebelumnya.
Ibnu Taimiyah berkata: Sedangkan mengikuti hisab pada keadaan cerah atau
menentukan perkara syariat umum yang lain dengan hisab, maka (pendapat
seperti ini) tidak pernah disampaikan oleh seorang muslimpun (ulama
mereka, ed). [12]
Ibnu Mulaqin berkata : Kata faqdurullahbila, bila dimaknai dengan
menghitungnya dengan hisab manaajil (falak) yang digunakan ahli falak,
maka ini pendapat yang sangat lemah sekali. Karena seandainya manusia
dibebabkan demikian, tentu menyusahkan mereka, karena tidak
mengetahuinya kecuali segelintir orang. Padahal syari’at mengenalkan
kepada mereka sesuai dengan sesuatu yang kebanyakan mereka ketahui. Juga
karena iklim menurut pendapat mereka (ahli falak) berbeda-beda,
dibenarkan satu iklim melihat (dan) yang lain tidak, sehingga membuat
perbedaan puasa pada kaum muslimin. Demikian juga seandainya hisab
diakui kebenarannya (dalam menentukan awal bulan Ramadhan), tentulah
Allah Subhanahu wa Ta'ala akan menjelaskannya kepada manusia,
sebagaimana telah menjelaskan waktu-waktu shalat dan yang lainnya.
Jelas hadits inipun tidak mendukung pendapat bolehnya menggunakan hisab dalam menentukan awal Ramadhan.
4. Dari segi sejarah dapat kita pelajari uraian kitab Bidayatul
Mujtahid. Disebutkan bahwa penggunaan hisab oleh ulama sejak masa
sahabat atau tabi’in. Kalau dalam menetapkan awal bulan Ramadhan dengan
rukyat tidak berhasil karena mendung maka digunakan hisab. Hal ini
dilakukan oleh sebagian ulama salaf dan dipelopori oleh seorang senior
tabi’in yang bernama Mutharif bin Asy Syahr.
Jawab.
Ibnu Rusyd dalam kitabnya Bidayatul Mujtahid menyatakan: ‘Dan
diriwayatkan dari sebagian salaf berpendapat bahwa jika hilal tidak
terlihat karena mendung, maka merujuk kepada hisab peredaran bulan dan
matahari dan ini adalah madzhab Mutharif bin asy Syikhir seorang senior
tabi’in’ [14].
Jadi Mutharif bin Abdillah Asy Syikhir bukan Asy-Syahr. Dan dia bukanlah
yang mempelopori. Pernyataan beliau ini perlu dicermati lagi, karena
nisbat pendapat ini kepada Muthorif bin Abdillah Al Shikhier tidak
benar, sebagaimana dinyatakan imam Ibnu Abdil Barr [15]
Kemudian juga pernyataan para sahabat ada yang menggunakan hisab dibantah oleh hadits Nabi yang berbunyi:
إِنَّا أُمَّةٌ أُمِّيَّةٌ لَا نَكْتُبُ وَلَا نَحْسُبُ الشَّهْرُ هَكَذَا
وَهَكَذَا وَهَكَذَا ثَلَاثًا حَتَّى ذَكَرَ تِسْعًا وَعِشْرِينَ
Kami adalah umat yang ummiy tidak menulis dan tidak menghisab, bulan itu
demikian, demikian dan demikian tiga kali sampai menyebut dua puluh
sembilan. [16].
.
Dengan demikian benarlah pernyataan Ibnu Taimiyah bahwa penggunaan hisab
dalam menentukan awal Ramadhan merupakan perkara baru yang terjadi
setelah tahun tiga ratusan.[17]
5. Kalaulah menentukan awal Ramadhan dengan rukyat berdasarkan hadits
Nabi, bagaimana menentukan awal bulan Dzulhijah untuk selanjutnya
menentukan tanggal 10 Dzulhijjah. Tidak ada perintah untuk itu dengan
rukyat. Bagaimana penentuan waktu-waktu shalat sekarang, dengan
menggunakan jadwal yang didasarkan pada hisab. Padahal dizaman Nabi
dilakukan dengan melihat bayangan benda bagi sholat dzuhur dan ashar,
dengan menggunakan melihat fajar untuk waktu subuh dan terbenam matahari
untuk waktu sholat maghrib dari hilangnya mega merah untuk sholat
isya’. Kesemuannya dapat dikembalikan kepada dalil umum ayat 5 surat
Yunus diatas dengan melakukan isthimbath dan ijtihad, baik berdasarkan
metode bayani dan pendekatan burhani (pendekatan ilmiah beradasarkan
dalil).
Jawab.
Alhamdulillah agama Islam telah menjelaskan seluruh keterangan yang
dapat digunakan hamba Allah dalam beribadat kepadanya. Menjadi mustahil
bila Islam menetapkan satu ibadah yang berhubungan dengan waktu kemudian
tidak menjelaskan waktu tersebut. Demikian pula tuntunan awal Ramadhan
ditentukan dengan rukyat berdasarkan hadits Nabi, bahkan juga oleh akal,
sehingga Ibnu Taimiyah berkata: "Sesungguhnya hukum-hukum Islam seperti
puasa Ramadhan berhubungan langsung dengan hilal. Namun berdasarkan
dalil sam'iyah (wahyu) dan akal, cara mengetahui terbitnya hilal adalah
rukyat tidak yang lainnya. [18]
Sedangkan penentuan bulan Dzulhijah. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :
يَسْئَلُونَكَ عَنِ اْلأَهِلَّةِ قُلْ هِيَ مَوَاقِيتُ لِلنَّاسِ
وَالْحَجِّ وَلَيْسَ الْبِرُّ بِأَن تَأْتُوا الْبُيُوتَ مِن ظُهُورِهَا
وَلَكِنَّ الْبِرَّ مَنِ اتَّقَى وَأْتُوا الْبُيُوتَ مِنْ أَبْوَابِهَا
وَاتَّقُوا اللهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Mereka bertanya kepadamu tentang hilal. Katakanlah :"Hilal itu adalah
tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji; Dan bukanlah
kebaktian memasuki rumah-rumah dari belakangnya, akan tetapi kebaktian
itu ialah kebaktian orang yang bertaqwa. Dan masuklah ke rumah-rumah itu
dari pintu-pintunya; dan bertaqwalah kepada Allah agar kamu beruntung.
[Al-Baqarah:189]
Sungguh aneh kalau dikatakan tidak ada perintah untuk itu dengan rukyat.
Adapun waktu shalat sudah jelas dan disepakati Rasululloh telah
menjelaskannya dengan sangat jelas sekali dalam hadits Jabir dan yang
lainnya.
Mengapa kita memaksakan semua ini masuk dalam keumuman ayat 5 surat
Yunus yang tidak menjelaskan tentang penggunaan hisab dalam syari’at
Islam, padahal secara jelas ketentuannya telah terperinci dalam ayat dan
hadits-hadits yang shahih. Seperti ini menunjukkan jalan istimbath yang
jauh dari benar.
Ambillah yang sudah jelas dan gamblang dan tinggalkanlah yang masih direka-reka dan dipaksakan.
6. Secara fakta ilmu hisab telah dapat digunakan untuk menghitung waktu yang mendekati kebenaran
Jawab
Kalau benar fakta ini, mengapa tidak menggunakan yang jelas pasti
kebenarannya menurut syari’at dan malah menggunakan sesuatu yang hanya
mendekati kebenaran dan masih mungkin bisa keliru dan salah?
7. Sebagian orang berkomentar tentang hadist :
إِنَّا أُمَّةٌ أُمِّيَّةٌ لَا نَكْتُبُ وَلَا نَحْسُبُ الشَّهْرُ هَكَذَا
وَهَكَذَا وَهَكَذَا ثَلَاثًا حَتَّى ذَكَرَ تِسْعًا وَعِشْرِينَ
Kami adalah umat yang ummiy tidak menulis dan tidak menghisab, bulan itu
demikian, demikian dan demikian tiga kali sampai menyebut dua puluh
sembilan.
Berdasarkan hadits ini, mereka menyatakan bahwa ini merupakan penyebab
hukum puasa tidak ditetapkan dengan hisab, sebab Nabi dan para sahabat
tidak mampu melakukannya dengan sebab ummiynya mereka. Sedangkan kami
sekarang bias membaca dan mengetahui ilmu hisab. Ditambah lagi kami
memiliki teropong bintang yang modern. Sehingga alasan hanya menggunakan
rukyat hilal sekarang ini terhapus. Dalam kaidah dikatakan : Hukum bisa
berubah dengan ada atau tidak adanya illat (alasan hukum).
Jawab.
Pernyataan seperti ini telah dijawab oleh Syaikh Islam Ibnu Taimiyah :
‘Hal ini tidak bisa dibenarkan, karena pada umat yang Nabi diutus kepada
mereka terdapat orang yang mampu membaca dan menulis sebagaimana ada
pada sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, dan juga ada pada
mereka yang mampu hisab. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam juga
pernah mengutus untuk melaksanakan kewajiban yang membutuhkan hisab
(perhitungan). Telah benar berita bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi
wa sallam ketika petugas (zakat) datang membawa shadaqah Ibnu Al
Lutbiyah. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam menghitungnya. Demikian
juga Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam memiliki beberapa para
juru tulis (Katib) seperti Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, Zaid dan
Mu’awiyah. Mereka menulis wahyu, perjanjian, risalah Beliau kepada orang
banyak dan kepada para raja dan penguasa yang didakwahi serta kepada
para petugas dan gubernur serta yang lainnya. Demikian juga Allah
berfirman:
لِتَعْلَمُوا عَدَدَ السِّنِينَ وَالْحِسَابَ
Dalam dua ayat [19] yang memberitahukan bahwa hal itu ada untuk mengetahui hisab.
Kata Ummiy pada asalnya dinisbatkan kepada ummah yaitu orang yang tidak
memiliki keistimewaan dari yang lainnya berupa membaca atau menulis
sebagaimana dikatakan: ‘aami (orang awam) untuk orang umum yang tidak
memiliki keistimewaan khusus dari ilmu pengetahuan. Ada juga yang
menyatakan bahwa itu dinisbatkan kepada al um, yang maknanya tetap pada
kebiasaan yang dibiasakan ibunya berupa pengetahuan dan ilmu serta yang
sejenisnya. Kemudian keistimewan yang mengeluarkan dari ummiyah al’ amah
(yang umum) kepada al ikhtishosh, terkadang adalah keutamaan dan
kesempurnaan. Misalnya, seperti keistimewan mereka dapat membaca Al
Qur’an dan memamahi kandungannya. Dan terkadang hanya menjadi sarana
mencapai keutamaan dan kesempurnaan. Misalnya, seperti keistimewan
mereka dapat menulis dan membaca tulisan, sehingga terpuji pada orang
yang menggunakannya untuk kebenaran, dan dicela pada orang yang
meninggalkannya atau menggunakannya untuk kejelekan. Orang yang
mencukupkan dengan sesuatu yang lebih bermanfaat baginya, maka lebih
sempurna dan utama.[20]
Dari sini jelaslah, dari beberapa sisi, maksud umiyah yang terdapat pada
hadits tersebut merupakan sifat terpuji dan sempurna. Yaitu dari sisi
mencukupkan dari sisi tulisan dan hisab dengan yang lebih jelas dan
pasti, yaitu hilal. Sisi yang lain, tulisan dan hisab masih mungkin
keliru dan salah. Sehingga dengan demikian jelaslah kesalahan prasangka
diatas.
Seandainya hisab lebih baik dan tepat digunakan dalam penentuan awal
bulan Ramadhan, tentulah Allah akan menjelaskan atau mengajarkan kepada
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam atau sahabat Beliau, sehingga dapat
digunakan mereka untuk memudahkan penentuan awal bulan Ramadhan.
وَمَاكاَنَ رَبُّكَ نَسِيًّا
Dan tidaklah Rabbmu lupa. [Maryam:64]
Bahkan bila hisab dapat digunakan sama dengan rukyat hilal tentulah akan dijelaskan Allah dan RasulNya.
KESIMPULAN
Semua dalih yang digunakan untuk membenarkan penggunaan hisab sangat
lemah. Sehingga, hendaknya kaum muslimin tidak menggunakannya, dan tidak
merasa bingung dengan permasalahan ini. Agama Islam telah lengkap,
sempurna dan gamblang dalam menjelaskan seluruh syari’atnya.
Demikianlah sedikit penjelasan tentang permasalahan hisab dalam penentuan Ramadhan, mudah-mudahan bermanfaat.
*) Tambahan judul "dan syawal" dari admin.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 07/Tahun IX/1425/2004M. Penerbit
Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton
Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858197]
_______
Footnote
[1]. Lihat mabhats Menentukan Ramadhan dalam edisi ini.
[2]. Abdullah bin Abdurrahman Al Basaam, Taudhih Al Ahkam Min Bulughul
Maram, cetakan kelima tahun 1423H, maktabah Al Asadi, Makkah, KSA hal.
3/450
[3]. ibid
[4]. Lihat ibid.
[5]. Taqiyuddin Ibnu Daqiqil Ied. Ihkaam Al Ahkam Syarhu Umdat Al
Ahkaam, Tahqiqi Ahmad Muhammad Syakir, cetakan kedua tahun 1407H, Dar
aalam Al Kutub, Bairut. Hal 2/8.
[6]. Fathul Bari, op.cit. hal 4/127.
[7]. Muhammad bin Shalih Al Utsaimin, Syarhu Al Mumti’ ‘Ala Zaad Al
Mustaqni’, Tahqiqi Dr. Sulaiman Aba Khail dan Dr. Khalid Al Musaiqih,
cetakan pertama tahun 1416, Muassasah Aasaam, KSA. Hal 6/314.
[8]. Majmu’ Fatawa op.cit hal 25/134-135.
[9]. HR Al Bukhari, dalam Shahihnya, kitab Al Shiyaam, no. 1906 (lihat
Fathul Bari op.cit hal.4/119) dan Muslim dalam Shahihnya kitab Al Shaum
no 2500. Lihat Al Nawawi, Al Minhaaj Syarh Shahih Muslim bin Al Hajjaj,
tahqiq Al Syaikh Khalil Ma’mun Syaikha, cetakan ketiga tahun 1417, Dar
Al Ma’rifah, Bairut hal. 7/190.
[10]. Lihat Ibnu Al Mulaqqin Al Syafi’i, Al I’laam Bi Fawaa’id Umdat Al
Ahkam, tahqiq Abdulaziz Ahmad Al Musyaiqih, cetakan pertama tahun 1417
H, Dar Al ‘Ashimah, KSA. Hal 5/173.
[11]. Lihat rubrik mabhas Menentukan Ramadhan.
[12]. Lihat: Majmu’ al-Fatawa op/cit hal. 25/132)
[13]. Al I’lam Bi Fawaid Umdat AL Ahkam op.cit hal 5/176-177.
[14]. Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid wa Nihayaatul Muqtashid, cetakan
kesepuluh tahun 1408, Dar Al Kutub Al ‘Ilmiyah, bairut. Hal 1/284
[15]. Lihat Fathul Bari op.cit hal 4/122. Ibnu Hajar menukil pernyataan
Ibnu Abdilbar, bahwa tidak benar (nisbat pendapat ini) kepada Muthorif .
juga lihat imam Muhammad bin Ali Al Saukani, Nailul Author min Ahaadits
Sayid Al Akhyar Syarh Muntaqa Al Akhbaar, tahqiq Muhammad saalim
Haasyim, cetakan pertama tahun 1415H, Dar Al Kutub Al ‘Ilmiyah, Bairut.
Hal 4/204.
[16]. HR Al Bukhari, dalam Shahihnya Kitab Al Shaum, no 1913, lihat
Fathul Bari op.cit hal 4/126 dan juga perhatikan komentar Ibnu Hajar
tentang kandungan hadits ini diatas.
[17]. Lihat pernyataan beliau dalam mabhas menentukan Ramadhan.
[18]. Majmu’ Fatawa op.cit hal 25/146.
[19]. Yaitu surat al Isra’ ayat 12 dan Yunus ayat 5
[20]. Majmu’ Fatawa op.cit 25/166-167