Selasa, 31 Agustus 2010

NASIHAT RAMADHAN 1431 H TANGGAL 30 AGUSTUS 2010 DI MASJID AS-SUNNAH BUNTOK

BAGAIMANA KALAU KITA TERUS MENYELISIHI PERINTAH?
(20 Ramadhan 1431)

Oleh : Syamsuddin Rudiannoor


إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهْ وَنَعُوذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْهُ فَلاَ هَادِيَ لَهُ. وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ.
أَمَّا بَعْدُ؛ فَإِنَّ أَصْدَقَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللهَ، وَخَيْرَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَشَّرَ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ وَكُلَّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ.


Jamaah Qiyamu Ramadhan yang berbahagia.

Kita sudah tegaskan bahwa petunjuk pelaksanaan ramadhan yang sempurna adalah surah Al Baqarah ayat 183 sampai 187. Didalam pelaksanaannya sudah pula disertakan tuntuan rinci atau adab-adab pelaksanaannya. Setelah dasar hukumnya jelas, tegas dan terang-benderang dengan sejelas-jelasnya, seharusnya pelaksanaan pasti sesuai dengan petunjuk. Namun anehnya, antara dalil yang disampaikan sebagai dasar dengan praktek yang dilakukan masih saja tidak sama? Masih saja berbeda ibarat jauh panggang dari api. Kenapa? Kenapa pengamalannya masih saja menyimpang dari petunjuk? Apakah menyimpang dari petunjuk seperti ini murni ketidak-sengajaan atau ... sebuah kesesatan? Marilah kita bermain akal hari ini?

1. Allah berfirman dalam Al Baqarah ayat 185: “Bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan Al Qur'an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang batil)”.

Ayat ini tegas menyebut Al Qur’an diturunkan pada bulan ramadhan. Dengan begitu maka bulan ramadhan adalah bulannya Al Qur’an. Lalu kapan pastinya Al Qur’an diturunkan? Allah menjelaskannya dalam surah Al Qadr ayat 1: ”Sesungguhnya Kami telah menurunkannya pada malam qadr”,

Lalu kapan malam qadr atau lailatur qadr itu terjadi? Berdasarkan hadits-hadits shahih dari Aisyah yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, dari Abu Hurairah yang diriwayatkan Bukhari, Darimi dan Ibnu Khuzaimah, dari Ibnu Abbas yang diriwayatkan Ahmad, Bukhari dan Abu Daud dan beberapa riwayat shahih lainnya, jelas lailatul qadar terjadi antara tanggal 21 sampai 29 ramadhan.

Sekarang mari kita pakai akal kita. Apakah tidak membantah namanya, tidak menentang judulnya ketika Al Qur’an jelas-jelas menyebutkan Nuzulul Qur’an terjadi pada malam Lailatur Qadar dan itu antara tanggal 21 sampai 29 Ramadhan, tetapi kita tetap saja berkeras Nuzulul Qur’an tanggal 17 ramadhan? Apakah kita yang mendustai Al Qur’an ataukah Al Qur’an yang berdusta sehingga wajib ditolak. Coba fikir, apakah ada ayat Al Qur’an yang palsu padahal dia hudallinnasi wa bayyinati minal huda wal furqon?


2. Masih firman Allah dalam Al Baqarah ayat 185: “Barang siapa di antara kamu menyaksikan bulan itu maka berpuasa pada bulan itu..”.

Atas firman Allah ini maka Rasulullah bersabda dalam hadits shahih riwayat Bukhari:
“Idza ra’aytumuuhu fashuumuu wa idzaa ra’aytumuuhu fafthiru fain ghumma alaikum faqduruulahu tsalaatsiin.” (Apabila kamu melihat (meru’yat) hilal maka berpuasalah dan apabila kamu melihat (hilal) maka berhari-raya-lah, dan apabila mendung maka genapkanlah bilangan bulan 30 hari”.

Pada riwayat lain dalam shahih Bukhari dan Muslim disebutkan: “Shuumuu li ru’yaatihi waftiruu li ru’yaatihi”. (Berpuasalah karena ru’yat (kamu melihatnya) dan berhari raya-lah karena kamu (ru’yat) melihatnya.)

Inilah dalil khusus penentuan 1 Ramadhan dan 1 Syawal berdasarkan petunjuk khusus dari Allah dan Rasul-Nya. Sekarang mari pakai akal kita. Apakah dengan adanya dalil khusus seperti ini kita masih saja memakai dalil umum atau memakai primbon atau ikut-ikutan orang banyak di dalam menentukan tanggal 1 Ramadhan dan 1 Syawal? Coba fikir, apakah petunjuk Al Qur’an itu palsu padahal dia hudallinnasi wa bayyinati minal huda wal furqon?


3. Allah berfirman dalam surah Al Maidah ayat 6: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki..,”

Inilah dalil khusus wajibnya berwudhu apabila ingin mengerjakan sholat. Caranya, “basuh wajah, basuh kedua tangan sampai ke siku dan sapulah kepala”. Kemudian Rasulullah merinci lagi perintah itu dalam beberapa variasi. Sekarang mari pakai akal kita. Apakah dengan adanya dalil khusus seperti ini kita masih saja memakai dalil lain diluar petunjuk Allah atau ikut-ikutan orang banyak? Coba fikir, apakah petunjuk Al Qur’an itu palsu padahal dia hudallinnasi wa bayyinati minal huda wal furqon? Inilah persoalan yang banyak kita hadapi. Kalau Allah tegas menyuruh menyapu kepala dalam berwudhu, kenapa kita hanya menyentuhkan ujung jari ke ubun-ubun dan mengenai beberapa helai rambut saja? Coba fikir, kita disuruh menyapu seluruhnya namun kita hanya menyentuh sebagian kecil saja. Kalau kepala boleh menyentuh saja, lalu kenapa muka tidak boleh disentuh juga, tangan dan kaki juga? Pakai akal! Apakah menyalahi perintah seperti ini masih bisa mengaku bertakwa padahal orang yang bertakwa adalah siapa pun yang melaksanakan seluruh perintah-Nya dan menjauhi seluruh larangan-Nya.


4. Allah berfirman dalam surah An Nisa ayat 103: "Maka apabila kamu telah menyelesaikan salat, maka berdzikirlah kepada Allah di waktu berdiri, di waktu duduk dan di waktu berbaring….

Adab berdzikir pun sudah beberapa kali dijelaskan sesuai surah Al A’raf ayat 205, yaitu : “Dan berdzikirlah menyebut Tuhanmu didalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara, baik di waktu pagi dan petang, dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai”.

Sekarang coba fikir. Kita disuruh berdzikir setelah sholat dengan dzikir dalam hati, rasa takut dan dilarang mengeraskan suara..., tapi apa kenyataannya? Malah sebaliknya, kita tambah giat berteriak-teriak dalam berdzikir kepada Allah. Pakai akal kita! Apakah menyalahi perintah seperti ini masih bisa mengaku bertakwa padahal orang yang bertakwa adalah siapa pun yang melaksanakan seluruh perintah-Nya dan menjauhi seluruh larangan-Nya.

Sekali lagi saya himbau. Coba fikir! Apakah beriman namanya kalau Al Qur’an yang kita akui sebagai kitab Allah, sebagai hudan dan furqan, justru kebanyakan isinya kita bantah. Namun anehnya, justru dengan kekafiran yang kita amalkan itu justru kita yakin sudah beribadah kepada Allah dengan benar dan dipastikan mendapatkan syurga dari Allah SWT. Apa mungkin? Coba fikir. Pasti tidak mungkin, karena Allah berfirman dalam surah Al Anfal ayat 2: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebutkan nama Allah maka gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat Allah bertambahlah iman mereka dan kepada Tuhan-lah mereka bertawakal”.

Lihatlah ayat ini. Seharusnya ayat-ayat Allah yang dibacakan kepada kita membuat bergetaran hati kita dan semakin bertambah kualitas keimanan kita, tapi nyatanya..., semakin ayat Allah dibacakan justru semakin timbul penentangan kita kepadanya. Islam macam apa kita?


Wallahu a’lam.
Buntok, 30 Agustus 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Oleh-oleh Kalimantan

Jan 12 Oleh-oleh Kalimantan Kami juga memasarkan beberapa jenis oleh-oleh khas Kalimantan, diantaranya mandau, tas manik motif Da...